Kepergian Shalehah

“Shalehah...” jeritku kuat begitu kurasakan nafas Shalehah berhenti
Segera ibuku yang juga berada di ruang ICU rumah sakit itu memelukku. Erat sekali. Ia bahkan tak memberiku ruang untuk bergerak, meskipun sekedar meratapi.
“Sabar nak. Sabar. Ini adalah kehendak Allah. Sudah waktunya Shalehah menghadap pada-Nya dan meninggalkan kita semua” bisik ibu di telingaku. Ia menatapku sendu.
Tak hanya aku dan ibu yang merasa kehilangan. Tapi, semua yang berada di rumah sakit-termasuk kedua orang tua Shalehah tak kalah bersedih. Gundahnya bahkan lebih mendalam melebihi gundahku. Namun, kulihat mereka sangat bersabar. Ikhlas se ikhlas-ikhlasnya.
Tetapi, tidak denganku. Sekali lagi kukatakan ini. Aku benar-benar tidak mengikhlaskan kepergiannya menghadap Tuhan. Sungguh...
“Kenapa kau meninggalkanku Shalehah?. Di saat aku mulai mengenal Tuhan yang sesungguhnya. Aku masih ingin kau beritahu tentang-Nya. Bahwa Tuhan itu ada dan benar-benar ada. Hiks....” tangisku pecah-seakan menembus dinding pembatas ruangan dengan segala emosi yang kupunya. Menggema dan membuncah.
“Nak, ikhlaskan Shalehah!.” Ucap ayah Shalehah. Beliau memegang erat tanganku. Memelukku. Berharap bisa meredakan ratapanku.
Dan, aku...hanya bisa memendam kekecewaan hatiku di pelukan calon mertuaku itu. Hingga beberapa saat aku mulai bisa mengendalikan emosiku.
***
Aku terus saja memandangi wajah Shalehah yang telah ditutupi oleh kain kafan. Wajah yang cantik, ayu dan mempesona. Wajah yang selama ini memikat hatiku. Kini telah diam dan terbujur kaku. Bahkan, senyum mengembangnya telah berganti wajah diam dan tak bisa berbuat apa-apa.
Aku mengena Shaleha tepatnya 3 bulan lalu. Saat aku yang hobinya bermabuk-mabukan mengalami kecelakan. Namun, di tengah keadaanku yang sekarat itu-aku ditolong oleh Shalehah dan dirawat di rumahnya-oleh kedua orang tuanya. Hingga malam di tengah siuman, kudengar suara merdu yang aku pikir itu adalah suara bidadari surga-sedang mengaji-menggema di telingaku. Menenangkan batinku.
“Subhanallah...”Ucapku berkali-kali. Aku seperti berada di alam mimpi saat mengucapkan kata itu. Bibirku yang kelu-tak pernah mengucapkan kata itu mendadak mudah mengucapkannya.
“Kamu sudah siuman?” tanya Shalehah padaku.
Luarrr,.. biasa. Matanya yang membelalak tertangkap oleh pandanganku. Indah sekali.
Tak hanya pada malam itu saja-merupakan kesan pertama paling indah menurutku. Namun, tutur katanya yang selalu mengajakku berbuat baik, takkan pernah terlupakan olehku.
“Apakah Tuhan itu adil?” tanyaku padanya.
“Ya, Tuhan itu tidak sekedar adil. Tetapi Maha Adil. Ia akan mengadili apapun-meskipun itu adalah hal yang teramat kecil.
“Benarkah?”
“Benar mas, meskipun banyak ketimpangan dalam hidup ini. Tetapi semuanya itu sebagai pelajaran buat kita. Adanya orang kaya, dijadikan pelajaran buat orang miskin. Tentang bagaimana sikap yang baik menjadi orang kaya. Dan, sebagai ladang amal bagi mereka kalau mereka menyadarinya. Untuk terus berbuat lebih baik lagi dalam hal apapun”
Aku benar-benar kagum akan ucapan Shalehah. Mungkin benar, sebagai orang kaya, aku harus bersikap lebih baik terhadap orang miskin. Tidak seperti sikapku selama ini. Sombong dan congkak.
Namun, dengan nasehat-nasehatnya, perlahan-lahan berbagai macam kebaikan mulai kulakukan. Dari mulai membagikan sedikit rezeki ke panti asuhan sampai-sampai membantu pembangunan mesjid. Luar biasa benar ia untukku.
Hingga seminggu sebelum ia meninggalkanku, akupun melamarnya. Ia benar-benar cantik. Nyaris sempurna sebagai seorang wanita idaman. Kerudung yang selalu ia kenakan di kepalanya selalu menghiasinya. Dan, tak ada keganjilan tersimpan di wajahnya. Hanya senyum dan senyum yang ia perlihatkan padaku.
“Tapi kenapa ini harus terjadi!.” Kesalku saat mengetahui diagnosa dokter tentang penyakit yang selama ini ia derita. Tak tanggung-tangggung. Ia mengidap paru-paru basah. Kedua orang tuanya juga kaget mendengar hal itu. Shalehah tidak pernah berbagi dukanya kepada siapapun.
“Masya Allah...!.”bingungku membaca diagnosa itu. Aku tak dapat berbuat apa-apa lagi selain hanya menungguinya di rumah sakit.
***
Mungkin harapanku telah hilang. Cahaya terang di amtaku tak terlihat lagi. Yang ada hanya guratan kesedihan yang terus menyelimutiku. Aku terus menrus kehilangan Shalehah....
Bahkan menatap langitpun, aku tak kuasa.
Ada apa ini ya Allah?.
Seharusnya aku lebih bisa menerima takdir ini. Seharusnya aku...
Namun, ....
“Umar...” terdengar suara ibu mengetuk pintu kamarku.
Segera kuhapus air mataku dan kubuka pintu kamarku.
“Ya bu, ada apa?”
“Ibu Cuma mau ngasih ini, titipan dari ayah Almarhumah Shalehah” ibu memberikan sebuah kado kecil untukku.
“Siapa yang berulang tahun bu?” tanyaku kemudian
Ibu menggeleng..
“Ya sudah ya, ibu mau beres-beres. Ibu mau pergi dulu.. jangan terus ebrsedih. Almarhuimah Shalehah tidak menginginkan hal itu”
“Ya bu”
Kubuka bingkisan yang ibu berikan untukku. Dan, ternyata isinya adalah sebuah piringan CD dengan format tulisan “teruntuk mas Umar”
“Assalamualaikum mas Umar” ucap Shalehah dalam rekaman yang kubuka lewat laptopku.
“Semoga mas Umar ngagk kecewa terhadapku. Aku mau minta maaf sebesar-sebesarnya padamu. Kalau sebenarnya aku telah mengidap penyakit paru-paru basah ini sejak setengah tahun lalu. Jauh sebelum Allah mengirimkanmu lewat perantaraan malam itu. Sekali lagi, maafkan aku mas. Oh iya, kedua orang tauku juga tidak mengetahui hal ini. Hal ini kulakukan karena aku tak ingin kalian sebagai orang yang kusayangi ikut meneteskan air mata untukku”
“Mas. Mungkin kematian yang tahu hanyalah Allah semata. Namun, rekaman ini aku rekam untuk berjaga-jaga. Kalau sampai sesuatu buruk terjadi padaku. Satu lagi mas, mas harus lebih kuat saat aku tiada. Karena aku bukanlah siapa-siapa. Jaga shalat dan ibadah mas yah!. Jangan larut-larut dalam kesedihan. Sebab, semuanya hanyalah milik Allah dan akan kembali pada Allah. Ingat mas. Allah is everything. All prayer, must do because Allah, you know?. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh”
Rekaman dari Shalehah itupun berakhir. Tanpa sengaja, air mataku meleleh melihat rekaman nasehatnya itu. Ia kelihatan amat cantik, bahkan cantik sekali. Walaupun tanpa make-up.
Ia telah menyadarkanku hari ini. Betapa ia amat menyayangiku. Dan satu pesan yang akan selalu kuingat selalu yaitu
“Jaga shalat dan ibadah mas yah!”
Itu adalah teguran untukku. Sebab, selama kepergiannya, aku tak pernah lagi menyentuh air wudhu dan shalat.
“Allah is everything. All prayer, must do because Allah, you know?”
Dan, mulai detik ini, aku siap berubah untuk itu. Terima kasih Shalehah. Semoga engkau tenang berada di alam sana dan engkau berada di tempat yang mulia, yang telah Allah siapkan untuk hamba-hamba-Nya yang dipenuhi rasa keimanan....
Semoga memberi pelajaran kepada pembaca cerpen ini...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar